Pengikut

manjadda wajada

dari yakinku teguh hati ikhlasq penuh akan karuniamu tanah air pusaka indonesia merdeka syukur aku sembahkan kehadiratmu Tuhan...

AQ

AQ
DEWE
RSS

Kamis, 27 Mei 2010

JURNAL-JURNALAN

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK TANAMAN HERBAL TERHADAP PERUBAHAN PADA ORGAN MENCIT (Mus musculus)
Oleh:
MOH. ZAINUL AMIN (08620005)
Jurusan Biologi “A”
Fakultas Sains Dan Teknologi
Universitas Islam Negeri (UIN) MALIKI Malang
E-Mail : zamieal_amien@yahoo.com
GAT-COM “man jadda wa jada”

Indonesia kaya akan berbagai macam tumbuhan (bahan alami), tetapi belum dimanfaatkan secara optimal dalam penemuan obat baru. Obat tradisional merupakan obat-obatan yang diolah secara tradisional. Obat tradisional yang bisa dimanfaatkan pada tumbuhan adalah rimpang, batang, buah, daun dan bunga. Penggunaan tumbuhan obat sebagai kontrasepsi oral tradisional telah banyak digunakan di beberapa daerah di Indonesia (Winarno dan Sundari, 1997).
Keanekaragaman tumbuhan di alam Indonesia mendorong masyarakat lebih memilih memanfaatkan tumbuh-tumbuhan sebagai obat-obatan tradisional. Obat tradisional adalah obat jadi atau obat berbungkus yang berasal dari tumbuh-tumbuhan, hewan dan mineral. Sediaan galeniknya atau campuran dari bahanbahan tersebut di atas belum mempunyai data klinis dan dipergunakan dalam usaha pengobatan berdasarkan pengalaman (Santoso, 1989).
Kandungan yang terdapat pada tumbuhan yang dijadikan obat tradisional berbeda-beda, demikian juga khasiatnya bagi tubuhpun bervariasi. Cyperus rotundus L merupakan salah satu tanaman liar yang digunakan masyarakat sebagai campuran jamu peluruh haid. Secara tradisional pemakaian rimpang C. rotundus L untuk abortus (keguguran) atau untuk membersihkan keguguran diduga karena kandungan senyawa kimia yang terdapat pada rumput teki diduga dapat menyebabkan peluruh haid, abortus, atrofi endometrium dan atrofi uterus (Sa’roni dan Wahjoedi, 2002).
Menurut penelitian Papaconstantinou et al (2002), pada penelitiannya membandingkan estrogen dan antiestrogen. Hasilnya pada senyawa estrogen berat uterus bertambah sedangkan perlakuan dengan antiestrogen terjadi penurunan berat uterus, pada estrogen lemah dan antiestrogen tidak terjadi perubahan berat uterus. Pada penelitian ini juga dilakukan kemampuan berbagai jenis senyawa kimia pada perubahan morfologi uterus. Zat-zat antiestrogen merupakan zat-zat yang melawan atau mengurangi efek esterogen. Dalam arti luas androgen dan progesteron dianggap sebagai zat-zat antiesterogen. Dikenal dua kelompok zat dengan khasiat antiesterogen, yakni esterogen lemah dan penghambat enzim aromatase.
Bobot uterus yang dianalisis adalah uterus per berat bangkai, sehingga data dapat dianalisis dengan baik. Berdasarkan hasil penelitian, pemberian ekstrak rimpang rumput teki (C. rotundus L) tidak mengakibatkan penurunan bobot secara nyata pada uterus fase diestrus, tetapi pemberian ekstrak rimpang rumput teki (C. rotundus L) mengakibatkan peningkatan bobot uterus secara nyata pada perlakuan 135 mg/40 gr BB fase metestrus. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian Sa'roni dan Wahjoedi (2002) yang menyatakan bahwa rumput teki (C. rotundus L) dapat menurunkan bobot uterus pada tikus putih, semakin besar dosis semakin besar berkurangnya bobot uterus.
Hasil penelitian tentang pengaruh ekstrak rimpang rumput teki (C. rotundus L) memberikan pengaruh terhadap panjang uterus, sehingga mengakibatkan penurunan dan peningkatan uterus tidak berbeda nyata dengan kontrol. Hasil penelitian menunjukkan adanya pengaruh ekstrak rimpang rumput teki (C. rotundus L) pada fase diestrus dan serta menunjukkan pengaruh ekstrak rimpang rumput teki (C. rotundus L) pada fase metestrus. Tetapi juga menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata dengan lebar uterus. Enzim-enzim endometrial dan miometrial yang menyebabkan perubahan siklis dalam metabolisme uterus berada di bawah pengaturan hormonal (Partodihardjo, 1980). Sehingga apabila terjadi penurunan hormon pada organ akan menyebabkan terhambatnya pertumbuhan dan perkembangan organ tersebut. Di duga terjadinya penurunan dan peningkatan lebar uterus disebabkan oleh adanya perubahan pada lapisan endometrium.
Menurut Wijayanti (2004) Dalam Jurnal yang berjudul “Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun Api-api (Avicennia marina) Terhadap Resorpsi Embrio, Berat Badan dan Panjang Badan Janin Mencit (Mus musculus)” Daun api-api (Avicennia marina) merupakan salah satu tumbuhan yang dimanfaatkan sebagai bahan pakan ternak dan dipakai sebagai obat antifertilitas tradisional oleh masyarakat pantai. Ekstrak dari tumbuhan ini berpotensi sebagai obat antifertilitas. Hampir seluruh bagian tumbuhan ini dapat dimanfaatkan seperti akar, kulit batang, daun, bunga atau biji, bahkan eksudat tanamannya (zat nabati yang secara spontan keluar, dikeluarkan, atau diekstrak dari jaringan sel tanaman).
Menurut Rahino (1991) efek yang dapat ditimbulkan akibat konsumsi obat yang berpotensi merugikan dalam proses reproduktif antara lain adanya perkembangan berupa retardasi pertumbuhan, deformitas struktural yang fungsional atau kematian. Penelitian ini bertujuan untuk menghindarkan terulangnya bencana thalidomide, dengan memberikan tingkatan dosis ekstrak daun api-api (Avicennia marina) yang diuji cobakan pada hewan coba mencit (Mus musculus) untuk mengetahui pengaruhnya terhadap resorpsi embrio, berat badan dan panjang badan janin mencit. Manfaat yang dicapai bagi dunia peternakan dan kedokteran hewan adalah untuk menghindarkan kerugian akibat penurunan reproduksi hewan ternak. Bagi masyarakat, bahaya kecacatan janin akibat mengkonsumsi obat-obatan tradisional selama kehamilan dapat dihindarkan.
Hasil penelitian membuktikan perbedaan yang tidak bermakna diantara dosis perlakuan terhadap jumlah resorpsi embrio mencit. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh keadaan mencit yang kurang sehat yang tidak diketahui dengan pasti, karena penilaian kesehatan hanya didasarkan pada penurunan berat badan dan aktifitas mencit. Penyakit-penyakit infeksi, gangguan metabolik, keadaan genetis mencit dan keadaan uterus yang kurang baik juga dapat meningkatkan jumlah resorpsi embrio.
Menurut Hardjopranjoto (1995) faktor luar tubuh yang sifatnya memberi beban yang sangat berat dan bersifat stres pada induk yang sedang bunting dapat menyebabkan abortus. Kematian dini pada embrio mencit dapat diketahui dengan adanya embrio yang teresorpsi yang ditandai dengan adanya korpus luteum yang berwarna merah kehitaman.
Berdasarkan hasil penelitian ini maka adanya pendapat bahwa pemberian tingkatan dosis ekstrak daun api-api (Avicennia marina) dapat meningkatkan resorpsi embrio mencit ditolak. Data berat badan janin diperoleh dari penimbangan pada saat janin dalam keadaan segar dan bebas dari selaput embrional. Sehingga dapat disimpulkan Berdasarkan penelitian ini membuktikan bahwa pemberian ekstrak daun api-api per oral dengan dosis 2,5 gram/kg berat badan pada kebuntingan hari ke 6-15 mampu menghambat pertumbuhan janin mencit.
Pada jurnal Hubungan Kadar Hormon Estradiol 17- β Oleh Agung Janika Sitasiwi, 38 – 45. Dilkatakan bahwa, siklus estrus ditentukan dengan melihat hasil apus vagina dan pewarnaan GIEMSA, sesuai metoda Brancroft and Steven (1996). Sampel apus vagina diambil setiap hari sekitar jam 10 pagi. Penentuan fase penyusun siklus estrus dilakukan dengan melihat perbandingan sel epitel berinti, sel epitel menanduk (kornifikasi), leukosit dan lendir, pada hasil apus vagina.
Kandungan hormon Estradiol 17-β sepanjang siklus estrus menunjukkan perubahan yang berjalan seiring dengan dicapainya perubahan fase dalam siklus estrus. Fase folikular yaitu fase diestrus sampai fase proestrus ditandai dengan kenaikan hormon estradiol. Kandungan hormon saat fase diestrus mencapai 8,2 pg/mL sedangkan pada fase proestrus mencapai 38,4 pg/mL. Fase luteal, yaitu fase estrus dan metestrus ditandai dengan kandungan hormon yang menunjukkan penurunan, yaitu 26,5 pg/mL dan 8,43 pg/mL.
Ukuran tebal endometrium uterus pada fase estrus dan metestrus menunjukkan penurunan yang relatif kecil dan berbeda tidak bermakna dibandingkan fase proestrus. Hal tersebut dapat terjadi karena pada kedua fase tersebut merupakan penyusun dari fase luteal. Saat memasuki fase luteal (akhir fase folikular), kelenjar pada endometrium uterus diregulasi oleh hormon progesteron. Aksi hormon progesteron pada jaringan menyebabkan aktivitas sekresi sel, sehingga pada fase luteal kelenjar endometrial mengalami peningkatan aktifitas sekresi (Johnson dan Everitt, 1988; Chateu and Boehm, 1995; Cooke et al., 1995; Haibin, 2005). Kelenjar endometrial yang aktif sekresi menyebabkan endometrium uterus tetap tebal walaupun kadar hormon estrogen telah menurun, seperti tampak pada hasil penelitian ini.
Hasil penelitian ini menunjukkan adanya hubungan yang posisif antara kandungan hormon Estradiol 17-β dengan ukuran tebal endometrium uterus sehingga dapat disimpulkan bahwa hormon Estradiol 17-β menyebabkan proliferasi jaringan penyusun lapisan endometrium uterus.
Pada jurnal Biologi XIII (2): 41–44 dikatakan bahwa Sambiloto (Andrographis paniculata Nees), family Acanthaceae, adalah salah satu tanaman obat yang cukup berpotensi untuk dikembangkan. Kandungan kimia yaitu andrografolid, neo-andrografolid, panikulin, mineral (kalium, kalsium, natrium), asam kersik, dan damar. Zat aktif (berkhasiat obat) ialah andrografolid yang rasanya sangat pahit. Kadar andrografolid 2,5-4,6 % dari bobot kering. Kadar kalium juga relatif cukup tinggi (Santa, 1996).
Zoha et al. (1989) melaporkan adanya efek antifertilitas Andrographis paniculata Nees terhadap mencit betina. Penelitian dari Beijing Medical College Physiology Department (Anonim 1978; dalam Panossian et al. 1999) juga melaporkan efek nyata terhadap berakhirnyakehamilan pada mencit pada saat implantasi, awal, pertengahan, maupun pada stadium akhir kehamilan. Sambiloto mungkin memiliki efek berlawanan terhadap progesteron endogen sehingga menyebabkan aborsi. Penelitian Chang & But (1986; dalam Panossian et al. 1999) secara in vivo terhadap mencit dan kelinci bunting juga menunjukkan kemungkinan adanya aktifitas aborsi.
Penelitian Hancke (1997; dalam Panossian et al. 1999) menyatakan hal yang berlawanan yaitu tidak adanya gangguan pada kehamilan, induksi resorpsi fetus, atau perubahan jumlah keturunan yang hidup dengan pemberian ekstrak kurang dari 2000 mg/kg berat badan selama 9 hari awal kehamilan tikus galur SD bunting. Hal ini didukung oleh Panossian et al. (1999) yang melaporkan tidak ada efek apapun terhadap level progesteron dalam kehamilan sehingga sambiloto tidak dapat menginduksi aborsi. Namun sejauh ini belum diketahui efek sambiloto terhadap fetus, karena itu perlu dilakukan uji tingkat keamanan dan ada tidaknya efek teratogenik sambiloto terhadap bentuk, struktur, dan perkembangan fetus.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan dosis ekstrak daun sambiloto cenderung diikuti dengan menurunnya jumlah fetus hidup, namun pengaruh yangsignifikan (p < 0,05) baru mulai dosis perlakuan 15 g/g bb/hari. Fetus mengalami resorbsi pada pemberian dosis 7,5; 15 dan 22,5 g/g bb/hari. Rerata jumlah fetus yang mengalami resorbsi meningkat dengan meningkatnya dosis ekstrak yang diberikan.
Individu yang mengalami malformasi (kecacatan) umumnya lebih kecil dibandingkan individu normal. Oleh karena itu sebelum menyatakan adanya abnormalitas pada suatu individu maka berat hewan yang diperlakukan harus dibandingkan dulu dengan kontrol untuk memastikan bahwa hambatan pertumbuhan suatu organmerefleksikan hambatan pertumbuhan secara umum.Beberapa agen teratogen juga dapat mengakibatkan kelainan visceral maupun skeletal tanpa menunjukkan adanya kelainan morfologi eksternal (Santoso, 2006).
Kelainan morfologi yang paling banyak ditemukan adalah hemoragi. Hemoragi yaitu keluarnya darah dari sistem kardiovaskuler, disertai penimbunan dalam ruangan atau jaringan tubuh (Price & Wilson, 1984). Kemungkinan ini terjadi karena ekstrak sambiloto diberikan berulangkali pada dosis cukup tinggi hingga konsentrasinya tinggi dalam darah dan terjadi ketidakseimbangan osmotik. Pada keadaan normal embrio berkembang dalam cairan amnion yang isotonis dengan cairan tubuh. Zat asing dalam jaringan dapat mengubah tekanan osmosis. Ketidakseimbangan osmotik dapat disebabkan gangguan tekanan dan viskositas cairan pada bagian embrio yang berbeda. antara plasma darah dan ruang ekstra-kapiler atau antara cairan ekstra dan intra embrionik. Perbedaan ini menyebabkan pembuluh darah pecah dan terjadi hemoragi (Wilson, 1973).
Morfologi kaki yang bengkok cenderung lebih pendek dengan telapak kaki menekuk ke dalam, akibat terjadinya perbedaan derajat penulangan pada kaki yang bengkok. Pada kaki yang mengalami kelainan terjadi kalsifikasi berlebihan dan ukuran masing-masing komponen skeleton juga lebih pendek. Diduga terjadi kalsifikasi dini skeleton anggota. Belum dapat dijelaskan penyebab cacat hanya pada satu kaki belakang atau depan saja atau keduanya, juga pemendekan skeleton yang diikuti pembengkokan kaki. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ekstrak daun sambiloto yang diberikan pada induk selama masa organogenesis menyebabkan kelainan morfologi fetus berupa kerdil, hemoragi, dan cacat kaki bengkok.
Pada Makara, Sains, vol. 11, no. 2, November 2007: 90-97, dikatakan bahwa, Curcuma domestica Val. (kunyit) merupakan salah satu tanaman obat yang sudah dikenal oleh masyarakat sebagai obat tradisional. Curcuma domestica memiliki banyak kegunaan, antara lain berkhasiat untuk meluruhkan, dan memperlancar haid, serta dapat meningkatkan produksi ASI. Penelitian Maligalig dkk. pada tahun 1994 [1], telah membuktikan adanya aktivitas estrogenik dari infus rimpang C. domestica. Hal tersebut diduga berasal dari kandungan fitosteroidberupa kampesterol, -sitosterol, dan stigmasterol. Ketiga senyawa fitosteroid tersebut memiliki kemiripan struktur dengan kolesterol yang merupakan prekursor pembentukan hormon seks, salah satunya hormon estrogen.
Estrogen mempengaruhi pertumbuhan dan proliferasi duktus kelenjar mammae. Estrogen juga menyebabkan penebalan dinding endometrium dan lapisan epitel pipih berlapis vagina. Pemberian estrogen juga akan meningkatkan konsentrasi reseptor estrogen (RE) pada organ reproduksi. Hasil uji parametrik (anava 1-faktor) pada 25 organ uterus, vagina, dan mammae M. musculus, menunjukkan bahwa pemberian ekstrak etanol 70% rimpang C. domestica berpengaruh secara nyata terhadap ketebalan endometrium uterus, ketebalan epitel vagina, dan diameter duktus kelenjar mammae dengan α = 0,05. Hasil tersebut menunjukkan bahwa pemberian ekstrak rimpang C. domestica dapat meningkatkan ketebalan endometrium dan diameter uterus, ketebalan epitel vagina, dan diameter duktus kelenjar mammae M. musculus yang diovariektomi secara bilateral.
Peningkatan ketebalan endometrium, ketebalan epitel vagina, dan diameter duktus kelenjar mammae M. musculus yang diovariektomi disebabkan oleh potensi estrogenik yang terdapat dalam rimpang C. domestica. Maligalig dkk. pada tahun 1994, telah membuktikan bahwa rimpang C. domestica memiliki potensi estrogenik dan dapat meningkatkan kadar estrogen dalam darah. Selain itu, penelitian Ambiono juga telah membuktikan bahwa infus rimpang C. domestica dapat meningkatkan produksi air susu induk M. musculus. Menurut Johnson & Everitt, hormon estrogen mampu menstimulasi pertumbuhan kelenjar mammae dan meningkatkan plasma prolaktin.
Efek estrogenik rimpang C. domestica terhadap epitel vagina dapat dilihat pada aktivitas mitogenik sel-sel epitel uterus, vagina, dan mammae. Aktivitas mitogenik tersebut berupa proliferasi maupun diferensiasi sel-sel epitel. Aktivitas mitogenik sel epitel dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Proliferasi yang terjadi pada sel-sel epitel endometrium uterus, epitel vagina, dan epitel duktus mammae terjadi secara tidak langsung yang dibantu oleh faktor parakrin yang dihasilkan sel stroma akibat induksi estrogen.
Ketebalan lapisan epitel vagina kemungkinan juga dipengaruhi oleh adanya diferensiasi sel-sel epitel vagina. Diferensiasi merupakan perubahan struktural maupun fungsional sel menuju kematangan (maturity). Diferensiasi dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung melalui pengikatan estrogen pada masing-masing RE α yang terdapat pada sel stroma dan sel epitel. Mekanisme diferensiasi sel-sel epitel lebih rumit dan belum jelas sampai saat ini, namun diketahui bahwa rangkaian peristiwa diferensiasi epitel vagina memerlukan proses proliferasi epitel terlebih dahulu. Diferensiasi sel dapat dilihat dari perubahan sitologi sel epitel vagina, yaitu sel-sel parabasal menjadi sel superfisial pada lapisan epitel vagina. Hal tersebut yang kemudian menyebabkan keratinisasi pada lapisan bagian atas epitel vagina.
Menurut penelitian Weihua dkk. Ditemukan perbedaan antara pola pita protein dari uterus pada M. musculus knock out RE β yang diberi estradiol dan yang tidak diberi perlakuan dengan estradiol baik secara kualitatif maupun kuantitatif dengan menggunakan analisis SDS-PAGE. Sampel uterus M. musculus knock out RE β yang diberi estradiol menunjukkan pola-pola pita protein yang lebih banyak dan tebal, dibandingkan dengan yang tidak diberi estradiol.
Menurut Nikov dkk. dalam keadaan tidak adanya hormon estrogen, reseptor estrogen akan bersifat inaktif dan berada di dalam inti sel target dan berikatan dengan heat shock protein hsp90. Hormon estrogen yang masuk ke dalam sel target akan berikatan dengan reseptor estrogen (RE) yang berada di inti dan menyebabkan reseptor estrogen menjadi aktif. Kompleks estrogen-reseptor kemudian menuju inti dan akan berikatan dengan estrogen responsive element (ERE). Perlekatan kompleks estrogen-reseptor dengan estrogen responsive element akan menginduksi terjadinya transkripsi mRNA. mRNA kemudian akan ditranslasi menjadi protein yang akan menghasilkan respons estrogenik pada sel target.
Berdasarkan hasil penelitian terhadap M. musculus betina galur DDY yang diovariektomi dan diberi ekstrak rimpang C. domestica dosis 230 mg/kg bb, 310 mg/kg bb, dan 390 mg/kg bb selama 8 hari berturut-turut dapat disimpulkan bahwa ekstrak etanol 70% rimpang C. domestica berpengaruh terhadap ketebalan endometrium, ketebalan epitel vagina, dan diameter duktus kelenjar mammae. Ekstrak rimpang C. domestica dosis 230 mg/kg bb, 310 mg/kg bb, dan 390 mg/kg bb berpengaruh terhadap ketebalan pita reseptor estrogen (RE) α. Pita reseptor estrogen (RE) α menunjukkan berat molekul 45 kDa.
Pada jurnal Natur Indonesia 6(1): 49- 52 (2003) ISSN 1410-9379 dikatakan bahwa pengaruh fraksi aktif tumbuhan A. angustifolia terhadap organ reproduksi sesuai dengan pernyataan Soeksmanto dan Simanjuntak (2003) yang menyatakan bahwa pemberian fraksi aktif tumbuhan A. angustifolia tidak menunjukkan pengaruh terhadap jaringan interstitial, tubulus seminiferus, spermatozoa, spermatogonium, spermatosit pachiten dan rasio sel spermatogonium terhadap spermatosit pachiten dari mencit jantan. Demikian pula pada pengamatan organ reproduksi betina, fraksi aktif tumbuhan Aglaia angustifolia tidak berpengaruh terhadap siklus estrus maupun jumlah dan diameter folikel. Selain itu bagian korteks maupun medulla terlihat normal dan tidak ditemukan adanya radang, nekrosis maupun fibrosis (Soeksmanto dan Simanjuntak, 2003).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar